SERUAN BAHASA DE BRITTO

Terik matahari membakar tubuhku yang sedang berjalan menyusuri trotoar sebuah perempatan. Aku bersama beberapa teman ingim mewawancarai seorang pengemis atau apalah yang dapat memenuhi tugas Religiositas waku itu. Rasa malas karena panas sangat terasa menyelubungi diri kami.
“Wah ndes, panas tenan tho,” ujar seorang temanku yang mulai kepanasan.
“Yo sabar tho yo. Tugas je,” kataku sambil mencari-cari apabila ada pengamen yang sedang duduk-duduk beristirahat di trotoar itu.
Setelah lama menunggu datanglah segerombol anak kecil pengamen dengan membawa alat music sederhana.
Kami mencoba bertanya pada anak itu.
“Eh dik, kami boleh wawancara sebentar enggak,” kata seorang temanku dengan ramah.
                Hampir semua menolak ajakan wawancara kami. Namun akhirnya ada seseorang yang mau berwawancara dengan kami. Setelah berkenalan kami tahu bahwa ia bernama Untung. Badannya kurus kering dengan kulit yang hitam kena sengatan matahari.
                Kami mulai bertanya tentang kehidupannya sehari-hari. Ia menceritakan panjng lebar bahwa ia hanya dapat bersekolah hingga kelas 4 SD karena kendala biaya. Ia mengamen untuk membantu ekonomi keluarganya yang masih saja berkekurangan.
                Rasa iba mulai merasuk dihatiku. Rasa malas yang menaungi tadi berubah menjadi antutias mendalam terhadap kehidupan anak itu. Kami diajak kerumahnya yang ada di kebun kosong dekat kali yang amat kotor. Rumahnya hanya berdiding spanduk bekas yang diambilnya dari pinggir jalan. Betapa kasian kehidupannya sehari-hari.
“Yah, memang susah mas kehidupan disini. Tapi masih untung lah kami masih bisa makan 2 kali sehari dengan lauk seadanya,” kata polosnya itu mulai membuat hati semakin iba dengannya.
Ibunya yang hanya sebagai pembantu rumah tangga serabutan dan ayahnya yang menjadi seorang penjual koran ternyata tak mengurangi senyum dibibirnya. Kupandangi sekitar kebun kosong itu. Terdapat pertokoan megah, salon, dan rumah makan yng cukup kondang didaerah itu. Keadaan yang sangat kontras dibandingkan rumahnya yang kecil itu.
Setelah itu kami bersalaman dan memberikan uang yang telah kami siapkan tadi. Uang yang didalam amplop tadi kami berikan padanya, diiringi senyum sumringahnya dan sebuah kata terima kasih. Yah… sebuah potret dingin gemerlap kota besar. 


Categories:

Leave a Reply